Borobudur
Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang
terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Lokasi candi adalah
kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat
Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi berbentuk stupa
ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an
Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Monumen ini terdiri atas enam
teras berbentuk bujur sangkar yang diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar,
pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca
Buddha Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan
ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang didalamnya
terdapat arca buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap tangan) dharmachakra mudra (memutar roda dharma).
A.
Sejarah
Bangunan Candi Borobudur
Lukisan karya G.B. Hooijer (dibuat
kurun 1916—1919) merekonstruksi suasana di Borobudur pada masa jayanya. Tidak
ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang membangun Borobudur dan
apa kegunaannya Waktu pembangunannya diperkirakan berdasarkan perbandingan
antara jenis aksara yang tertulis di kaki tertutup Karmawibhangga dengan jenis
aksara yang lazim digunakan pada prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9.
Diperkirakan Borobudur dibangun sekitar tahun 800 masehi. Kurun waktu ini
sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M, masa puncak kejayaan wangsa
Syailendra di Jawa Tengah, yang kala itu dipengaruhi Kemaharajaan Sriwijaya.
Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan waktu 75 - 100 tahun lebih dan
benar-benar dirampungkan pada masa pemerintahan raja Samaratungga pada tahun
825.
Pembangunan candi-candi
Buddha termasuk Borobudur saat itu dimungkinkan karena pewaris Sanjaya, Rakai
Panangkaran memberikan izin kepada umat Buddha untuk membangun candi. Petunjuk
ini dipahami oleh para arkeolog, bahwa pada masyarakat Jawa kuno, agama tidak
pernah menjadi masalah yang dapat menuai konflik, dengan dicontohkan raja penganut
agama Hindu bisa saja menyokong dan mendanai pembangunan candi Buddha, demikian
pula sebaliknya. Akan tetapi diduga terdapat persaingan antara dua wangsa
kerajaan pada masa itu wangsa Syailendra yang menganut Buddha dan wangsa
Sanjaya yang memuja Siwa yang kemudian wangsa Sanjaya memenangi pertempuran
pada tahun 856 di perbukitan Ratu Boko. Ketidakjelasan juga timbul mengenai
candi Lara Jonggrang di Prambanan, candi megah yang dipercaya dibangun oleh
sang pemenang Rakai Pikatan sebagai jawaban wangsa Sanjaya untuk menyaingi
kemegahan Borobudur milik wangsa Syailendra, akan tetapi banyak pihak percaya
bahwa terdapat suasana toleransi dan kebersamaan yang penuh kedamaian antara
kedua wangsa ini yaitu pihak Sailendra juga terlibat dalam pembangunan Candi Siwa
di Prambanan.
B.
Tahapan
Pembangunan
Borobudur
Para ahli arkeologi menduga bahwa
rancangan awal Borobudur adalah stupa tunggal yang sangat besar memahkotai
puncaknya. Diduga massa stupa raksasa yang luar biasa besar dan berat ini
membahayakan tubuh dan kaki candi sehingga arsitek perancang Borobudur
memutuskan untuk membongkar stupa raksasa ini dan diganti menjadi tiga barisan
stupa kecil dan satu stupa induk seperti sekarang. Berikut adalah perkiraan
tahapan pembangunan Borobudur:
- Tahap pertama: Masa
pembangunan Borobudur tidak diketahui pasti (diperkirakan kurun 750 dan
850 M). Borobudur dibangun di atas bukit alami, bagian atas bukit
diratakan dan pelataran datar diperluas. Sesungguhnya Borobudur tidak
seluruhnya terbuat dari batu andesit, bagian bukit tanah dipadatkan dan
ditutup struktur batu sehingga menyerupai cangkang yang membungkus bukit
tanah. Sisa bagian bukit ditutup struktur batu lapis demi lapis. Pada
awalnya dibangun tata susun bertingkat. Sepertinya dirancang sebagai
piramida berundak, tetapi kemudian diubah. Sebagai bukti ada tata susun
yang dibongkar. Dibangun tiga undakan pertama yang menutup struktur asli
piramida berundak.
- Tahap kedua:
Penambahan dua undakan persegi, pagar langkan dan satu undak melingkar
yang diatasnya langsung dibangun stupa tunggal yang sangat besar.
- Tahap ketiga:
Terjadi perubahan rancang bangun, undak atas lingkaran dengan stupa
tunggal induk besar dibongkar dan diganti tiga undak lingkaran.
Stupa-stupa yang lebih kecil dibangun berbaris melingkar pada pelataran
undak-undak ini dengan satu stupa induk yang besar di tengahnya. Karena
alasan tertentu pondasi diperlebar, dibangun kaki tambahan yang membungkus
kaki asli sekaligus menutup relief Karmawibhangga. Para arkeolog menduga
bahwa Borobudur semula dirancang berupa stupa tunggal yang sangat besar
memahkotai batur-batur teras bujur sangkar. Akan tetapi stupa besar ini
terlalu berat sehingga mendorong struktur bangunan condong bergeser
keluar. Patut diingat bahwa inti Borobudur hanyalah bukit tanah sehingga
tekanan pada bagian atas akan disebarkan ke sisi luar bagian bawahnya
sehingga Borobudur terancam longsor dan runtuh. Karena itulah diputuskan
untuk membongkar stupa induk tunggal yang besar dan menggantikannya dengan
teras-teras melingkar yang dihiasi deretan stupa kecil berterawang dan
hanya satu stupa induk. Untuk menopang agar dinding candi tidak longsor
maka ditambahkan struktur kaki tambahan yang membungkus kaki asli.
Struktur ini adalah penguat dan berfungsi bagaikan ikat pinggang yang
mengikat agar tubuh candi tidak ambrol dan runtuh keluar, sekaligus
menyembunyikan relief Karmawibhangga pada bagian Kamadhatu
- Tahap keempat: Ada
perubahan kecil seperti penyempurnaan relief, penambahan pagar langkan
terluar, perubahan tangga dan pelengkung atas gawang pintu, serta
pelebaran ujung kaki.
- Hilangnya
Borobudur
Meletusnya
Gunung Merapi diduga sebagai penyebab utama diterlantarkannya Borobudur. Borobudur tersembunyi dan terlantar selama
berabad-abad terkubur di bawah lapisan tanah dan debu vulkanik yang kemudian
ditumbuhi pohon dan semak belukar sehingga Borobudur kala itu benar-benar
menyerupai bukit. Alasan sesungguhnya penyebab Borobudur ditinggalkan hingga
kini masih belum diketahui. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan bangunan
suci ini tidak lagi menjadi pusat ziarah umat Buddha. Pada kurun 928 dan 1006,
Raja Mpu Sindok memindahkan ibu kota kerajaan Medang ke kawasan Jawa Timur
setelah serangkaian letusan gunung berapi. Tidak dapat dipastikan apakah faktor inilah yang
menyebabkan Borobudur ditinggalkan, akan tetapi beberapa sumber menduga bahwa
sangat mungkin Borobudur mulai ditinggalkan pada periode ini. Bangunan suci ini
disebutkan secara samar-samar sekitar tahun 1365, oleh Mpu Prapanca dalam
naskahnya Nagarakretagama yang
ditulis pada masa kerajaan Majapahit. Ia menyebutkan adanya wihara di budur. Selain itu Soekmono (1976) juga mengajukan
pendapat populer bahwa candi ini mulai benar-benar ditinggalkan sejak penduduk
sekitar beralih keyakinan kepada Islam pada abad ke-15.
Monumen ini tidak sepenuhnya dilupakan, melalui
dongeng rakyat Borobudur beralih dari sebagai bukti kejayaan masa lampau
menjadi kisah yang lebih bersifat tahayul yang dikaitkan dengan kesialan,
kemalangan dan penderitaan. Dua Babad Jawa yang ditulis abad ke-18 menyebutkan
nasib buruk yang dikaitkan dengan monumen ini. Menurut Babad Tanah Jawi (Sejarah Jawa), monumen ini merupakan faktor
fatal bagi Mas Dana, pembangkang yang memberontak kepada Pakubuwono I, raja
Kesultanan Mataram pada 1709. Dalam kepercayaan Jawa pada masa Mataram Islam,
reruntuhan bangunan percandian dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh halus
dan dianggap wingit (angker) sehingga dikaitkan dengan kesialan atau
kemalangan yang mungkin menimpa siapa saja yang mengunjungi dan mengganggu
situs ini. Meskipun secara ilmiah diduga, mungkin setelah situs ini tidak
terurus dan ditutupi semak belukar, tempat ini pernah menjadi sarang wabah
penyakit seperti demam berdarah atau malaria.
D.
Penemuan
Kembali Borobudur
Foto pertama Borobudur oleh Isidore
van Kinsbergen (1873) setelah monumen ini dibersihkan dari tanaman yang tumbuh
pada tubuh candi. Bendera Belanda tampak pada stupa utama candi. Teras
tertinggi setelah restorasi Van Erp. Stupa utama memiliki menara dengan payung
susun tiga. Setelah Perang Inggris-Belanda dalam memperebutkan pulau Jawa, Jawa
dibawah pemerintahan Inggris
pada kurun 1811 hingga 1816. Thomas Stamford Raffles ditunjuk sebagai Gubernur
Jenderal, dan ia memiliki minat istimewa terhadap sejarah Jawa. Ia mengumpulkan
artefak-artefak antik kesenian Jawa kuno dan membuat catatan mengenai sejarah
dan kebudayaan Jawa yang dikumpulkannya dari perjumpaannya dengan rakyat
setempat dalam perjalanannya keliling Jawa. Pada kunjungan inspeksinya di
Semarang tahun 1814, ia dikabari mengenai adanya sebuah monumen besar jauh di
dalam hutan dekat desa Bumisegoro. Karena berhalangan dan tugasnya
sebagai Gubernur Jenderal, ia tidak dapat pergi sendiri untuk mencari bangunan
itu dan mengutus H.C. Cornelius, seorang insinyur Belanda, untuk menyelidiki
keberadaan bangunan besar ini. Dalam dua bulan, Cornelius beserta 200
bawahannya menebang pepohonan dan semak belukar yang tumbuh di bukit Borobudur
dan membersihkan lapisan tanah yang mengubur candi ini. Karena ancaman longsor,
ia tidak dapat menggali dan membersihkan semua lorong. Ia melaporkan
penemuannya kepada Raffles termasuk menyerahkan berbagai gambar sketsa candi
Borobudur. Meskipun penemuan ini hanya menyebutkan beberapa kalimat, Raffles
dianggap berjasa atas penemuan kembali monumen ini, serta menarik perhatian
dunia atas keberadaan monumen yang pernah hilang ini.
Hartmann, seorang pejabat
pemerintah Hindia Belanda di Keresidenan Kedu meneruskan kerja Cornelius dan
pada 1835 akhirnya seluruh bagian bangunan telah tergali dan terlihat. Minatnya
terhadap Borobudur lebih bersifat pribadi daripada tugas kerjanya. Hartmann
tidak menulis laporan atas kegiatannya; secara khusus, beredar kabar bahwa ia
telah menemukan arca buddha besar di stupa utama Pada 1842, Hartmann
menyelidiki stupa utama meskipun apa yang ia temukan tetap menjadi misteri
karena bagian dalam stupa kosong.
Pemerintah Hindia Belanda
menugaskan F.C. Wilsen, seorang insinyur pejabat Belanda bidang teknik, ia
mempelajari monumen ini dan menggambar ratusan sketsa relief. J.F.G. Brumund
juga ditunjuk untuk melakukan penelitian lebih terperinci atas monumen ini,
yang dirampungkannya pada 1859. Pemerintah berencana menerbitkan artikel
berdasarkan penelitian Brumund yang dilengkapi sketsa-sketsa karya Wilsen,
tetapi Brumund menolak untuk bekerja sama. Pemerintah Hindia Belanda kemudian
menugaskan ilmuwan lain, C. Leemans, yang mengkompilasi monografi berdasarkan
sumber dari Brumund dan Wilsen. Pada 1873, monograf pertama dan penelitian
lebih detil atas Borobudur diterbitkan, dilanjutkan edisi terjemahannya dalam
bahasa Perancis setahun kemudian.Foto pertama monumen ini diambil pada 1873
oleh ahli engrafi Belanda, Isidore van Kinsbergen
Penghargaan atas situs ini
tumbuh perlahan. Untuk waktu yang cukup lama Borobudur telah menjadi sumber
cenderamata dan pendapatan bagi pencuri, penjarah candi, dan kolektor. Kepala
arca Buddha adalah bagian yang paling banyak dicuri. Karena mencuri seluruh
arca buddha terlalu berat dan besar, arca sengaja dijungkirkan dan dijatuhkan
oleh pencuri agar kepalanya terpenggal. Karena itulah kini di Borobudur banyak
ditemukan arca Buddha tanpa kepala. Kepala Buddha Borobudur telah lama menjadi
incaran kolektor benda antik dan museum-museum di seluruh dunia. Pada 1882,
kepala inspektur artefak budaya menyarankan agar Borobudur dibongkar seluruhnya
dan reliefnya dipindahkan ke museum akibat kondisi yang tidak stabil,
ketidakpastian dan pencurian yang marak di monumen. Akibatnya,
pemerintah menunjuk Groenveldt, seorang arkeolog, untuk menggelar penyelidikan
menyeluruh atas situs dan memperhitungkan kondisi aktual kompleks ini. Laporannya menyatakan bahwa kekhawatiran
ini berlebihan dan menyarankan agar bangunan ini dibiarkan utuh dan tidak
dibongkar untuk dipindahkan.
E.
Perubahan Borobudur
Borobudur kembali menarik
perhatian pada 1885, ketika Yzerman, Ketua Masyarakat Arkeologi di Yogyakarta,
menemukan kaki tersembunyi. Foto-foto yang menampilkan relief pada kaki
tersembunyi dibuat pada kurun 1890–1891. Penemuan ini mendorong pemerintah
Hindia Belanda untuk mengambil langkah menjaga kelestarian monumen ini. Pada
1900, pemerintah membentuk komisi yang terdiri atas tiga pejabat untuk meneliti
monumen ini: Brandes, seorang sejarawan seni, Theodoor van Erp, seorang insinyur
yang juga anggota tentara Belanda, dan Van de Kamer, insinyur ahli konstruksi
bangunan dari Departemen Pekerjaan Umum.
Penanaman beton dan pipa PVC untuk
memperbaiki sistem drainase Borobudur pada pemugaran tahun 1973. Pada 1902,
komisi ini mengajukan proposal tiga langkah rencana pelestarian Borobudur
kepada pemerintah. Pertama, bahaya yang mendesak harus segera diatasi dengan
mengatur kembali sudut-sudut bangunan, memindahkan batu yang membahayakan batu
lain di sebelahnya, memperkuat pagar langkan pertama, dan memugar beberapa
relung, gerbang, stupa dan stupa utama. Kedua, memagari halaman candi,
memelihara dan memperbaiki sistem drainase dengan memperbaiki lantai dan pancuran.
Ketiga, semua batuan lepas dan longgar harus dipindahkan, monumen ini
dibersihkan hingga pagar langkan pertama, batu yang rusak dipindahkan dan stupa
utama dipugar. Total biaya yang diperlukan pada saat itu ditaksir sekitar
48.800 Gulden.
Akibat anggaran yang terbatas, pemugaran ini hanya
memusatkan perhatian pada membersihkan patung dan batu, Van Erp tidak
memecahkan masalah drainase dan tata air. Dalam 15 tahun, dinding galeri miring
dan relief menunjukkan retakan dan kerusakan. Van Erp menggunakan beton yang
menyebabkan terbentuknya kristal garam alkali dan kalsium hidroksida yang
menyebar ke seluruh bagian bangunan dan merusak batu candi. Hal ini menyebabkan
masalah sehingga renovasi lebih lanjut diperlukan.
F.
Konsep
Rancang Bangun
Pada hakikatnya Borobudur
adalah sebuah stupa yang bila dilihat dari atas membentuk pola Mandala besar.
Mandala adalah pola rumit yang tersusun atas bujursangkar dan lingkaran
konsentris yang melambangkan kosmos atau alam semesta yang lazim ditemukan
dalam Buddha aliran Wajrayana-Mahayana. Sepuluh pelataran yang dimiliki
Borobudur menggambarkan secara jelas filsafat mazhab Mahayana yang secara
bersamaan menggambarkan kosmologi yaitu konsep alam semesta, sekaligus
tingkatan alam pikiran dalam ajaran Buddha. Bagaikan sebuah kitab,
Borobudur menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk
mencapai kesempurnaan menjadi Buddha. Dasar denah bujur sangkar berukuran
123 m (400 kaki) pada tiap sisinya. Bangunan ini memiliki sembilan
teras, enam teras terbawah berbentuk bujur sangkar dan tiga teras teratas
berbentuk lingkaran.
Ketiga tingkatan ranah spiritual dalam kosmologi Buddha adalah:
Kamadhatu
Bagian kaki Borobudur
melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama
atau "nafsu rendah". Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan
batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian kaki
asli yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 160 panel cerita Karmawibhangga
yang kini tersembunyi. Sebagian kecil struktur tambahan di sudut tenggara
disisihkan sehingga orang masih dapat melihat beberapa relief pada bagian ini.
Struktur batu andesit kaki tambahan yang menutupi kaki asli ini memiliki volume
13.000 meter kubik.
Rupadhatu
Empat undak teras yang
membentuk lorong keliling yang pada dindingnya dihiasi galeri relief oleh para
ahli dinamakan Rupadhatu. Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu terdiri
dari empat lorong dengan 1.300 gambar relief. Panjang relief seluruhnya 2,5 km
dengan 1.212 panel berukir dekoratif. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat
membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk.
Tingkatan ini melambangkan alam antara yakni, antara alam bawah
dan alam atas. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat
pada ceruk atau relung dinding di atas pagar langkan atau selasar. Aslinya
terdapat 432 arca Buddha di dalam relung-relung terbuka di sepanjang sisi luar
di pagar langkan.[Pada pagar langkan terdapat sedikit perbedaan
rancangan yang melambangkan peralihan dari ranah Kamadhatu menuju ranah
Rupadhatu; pagar langkan paling rendah dimahkotai ratna, sedangkan empat
tingkat pagar langkan diatasnya dimahkotai stupika (stupa kecil). Bagian
teras-teras bujursangkar ini kaya akan hiasan dan ukiran relief.
Arupadhatu
Berbeda dengan lorong-lorong
Rupadhatu yang kaya akan relief, mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya
tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak
berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini
melambangkan alam atas, di mana
manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun
belum mencapai nirwana. Pada pelataran lingkaran terdapat 72 dua stupa kecil
berterawang yang tersusun dalam tiga barisan yang mengelilingi satu stupa besar
sebagai stupa induk. Stupa kecil berbentuk lonceng ini disusun dalam 3 teras
lingkaran yang masing-masing berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72 stupa). Dua
teras terbawah stupanya lebih besar dengan lubang berbentuk belah ketupat, satu
teras teratas stupanya sedikit lebih kecil dan lubangnya berbentuk kotak bujur
sangkar. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup
berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih
tampak samar-samar. Rancang bangun ini dengan cerdas menjelaskan konsep
peralihan menuju keadaan tanpa wujud, yakni arca Buddha itu ada tetapi tak
terlihat. Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud yang sempurna
dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi.
G.
Struktur
Bangunan
Tangga
Borobudur mendaki melalui serangkaian gapura berukir Kala-Makara. Sekitar 55.000 meter kubik batu andesit diangkut
dari tambang batu dan tempat penatahan untuk membangun monumen ini. Batu ini
dipotong dalam ukuran tertentu, diangkut menuju situs dan disatukan tanpa
menggunakan semen. Struktur Borobudur tidak memakai semen sama sekali,
melainkan sistem interlock
(saling kunci) yaitReu
seperti balok-balok lego yang bisa menempel tanpa perekat. Batu-batu ini
disatukan dengan tonjolan dan lubang yang tepat dan muat satu sama lain, serta
bentuk "ekor merpati" yang mengunci dua blok batu. Relief dibuat di
lokasi setelah struktur bangunan dan dinding rampung.
Borobudur amat berbeda dengan rancangan candi
lainnya, candi ini tidak dibangun di atas permukaan datar, tetapi di atas bukit
alami. Akan tetapi teknik pembangunannya serupa dengan candi-candi lain di
Jawa. Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain.
Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong
dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Secara umum rancang
bangun Borobudur mirip dengan piramida berundak. Di lorong-lorong inilah umat
Buddha diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah
kanan. Rancangannya yang rumit dari monumen ini menunjukkan bahwa bangunan ini
memang sebuah bangunan tempat peribadatan. Bentuk bangunan tanpa ruangan dan
struktur teras bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari bentuk
punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah
Indonesia.
H. Relief
Secara runtutan, maka cerita pada relief candi
secara singkat bermakna sebagai berikut :
Karmawibhangga
Salah satu ukiran Karmawibhangga di
dinding candi Borobudur (lantai 0 sudut tenggara) Sesuai dengan makna simbolis
pada kaki candi, relief yang menghiasi dinding batur yang terselubung tersebut
menggambarkan hukum karma. Karmawibhangga adalah naskah yang menggambarkan
ajaran mengenai karma, yakni sebab-akibat perbuatan baik dan jahat. Deretan
relief tersebut bukan merupakan cerita seri (serial), tetapi pada setiap pigura
menggambarkan suatu cerita yang mempunyai hubungan sebab akibat. Relief
tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap perbuatan tercela manusia
disertai dengan hukuman yang akan diperolehnya, tetapi juga perbuatan baik
manusia dan pahala. Secara keseluruhan merupakan penggambaran kehidupan manusia
dalam lingkaran lahir - hidup - mati (samsara) yang tidak pernah berakhir, dan
oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju
kesempurnaan. Kini hanya bagian tenggara yang terbuka dan dapat dilihat oleh
pengujung. Foto lengkap relief Karmawibhangga dapat disaksikan di Museum
Karmawibhangga di sisi utara candi Borobudur.
Pangeran Siddhartha Gautama mencukur
rambutnya dan menjadi pertapa. Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam
deretan relief-relief (tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap) yang
dimulai dari turunnya Sang Buddha dari surga Tushita, dan berakhir dengan
wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief ini berderet dari
tangga pada sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak 27
pigura yang dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut menggambarkan
kesibukan, baik di sorga maupun di dunia, sebagai persiapan untuk menyambut
hadirnya penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief
tersebut menggambarkan lahirnya Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran
Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu.
Relief tersebut berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama,
yang secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang
Buddha di sebut dharma yang juga berarti "hukum", sedangkan dharma
dilambangkan sebagai roda.
Jataka dan Awadana
Jataka adalah berbagai
cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta.
Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan-perbuatan baik, seperti sikap rela
berkorban dan suka menolong yang membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain
manapun juga. Beberapa kisah Jataka menampilkan kisah fabel yakni kisah yang
melibatkan tokoh satwa yang bersikap dan berpikir seperti manusia.
Sesungguhnya, pengumpulan jasa atau perbuatan baik merupakan tahapan persiapan
dalam usaha menuju ketingkat ke-Buddha-an.
Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi
pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan ceritanya dihimpun
dalam kitab Diwyawadana yang berarti perbuatan mulia kedewaan, dan kitab
Awadanasataka atau seratus cerita Awadana. Pada relief candi Borobudur Jataka
dan Awadana, diperlakukan sama, artinya keduanya terdapat dalam deretan yang
sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling terkenal dari kehidupan Sang
Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian cerita Jataka, karya penyair
Aryasura yang hidup dalam abad ke-4 Masehi.
Gandawyuha
Merupakan deretan relief
menghiasi dinding lorong ke-2,adalah cerita Sudhana yang berkelana tanpa
mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran
Sejati oleh Sudhana. Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab
suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya
berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.